SUARA BAPTIS PAPUA

Dukung Aksi Perdamaian Atas Kekerasan di Papua Barat.
Jika Anda Peduli atas kemanusiaan Kaum tertindas di Papua barat Mohon Suport di sini:

Please donate to the Free West Papua Campaign U.K.
Kontribusi anda akan kami melihat ada perubahan terhadap cita-cita rakyat papua barat demi kebebasan dan kemerdekaannya.
Peace ( by Voice of Baptist Papua)

Home » , , , , , , » Benny Giay : "Yang Dilakukan Wartawan di Papua Pernah Dilakukan Wartawan di Afrika Selama Era Apartheid"

Benny Giay : "Yang Dilakukan Wartawan di Papua Pernah Dilakukan Wartawan di Afrika Selama Era Apartheid"

Written By Voice Of Baptist Papua on June 26, 2012 | 11:25 PM

 "Saya kira pemberitaan media dalam sejarah masyarakat/negara totaliter dan represif memang
mewajibkan para pemilik media untuk tunduk. Mereka, para pengelola media atau wartawan yang menulis berita dari sudut pandang masyarakat yang dikorbankan oleh regim totaliter dan represif dianggap mencari masalah." kata Benny Giay".

Benny Giay (Ketua Kingmi Papua/Foto-jubi)
Jayapura Voice-Baptist, (27/6)---Benny Giay, ketua Sinode Kingmi Papua memandang pemberitaan tentang Papua yang dilakukan jurnalis dan media massa lokal maupun nasional pernah terjadi di Afrika Selatan pada zaman Apartheid.

Pemodal dan penguasa telah mengendalikan pikiran publik secara diskriminatif melalui jurnalis dan media massa. "Saya kira pemberitaan media dalam sejarah masyarakat/negara totaliter dan represif memang
mewajibkan para pemilik media untuk tunduk. Mereka, para pengelola media atau wartawan yang menulis berita dari sudut pandang masyarakat yang dikorbankan oleh regim totaliter dan represif dianggap mencari masalah." kata Benny Giay kepada tabloidjubi.com, Rabu (27/6) di Jakarta via HP.

Di tempat yang sama, Septer Manufandu, sekretaris eksekutif Foker LSM Papua juga mengatakan bahwa media massa dan jurnalis telah berperan dalam menyuburkan stigma bahwa orang Papua adalah separatis dan juga turut mengkonstruksikan opini publik bahwa pelaku teror dan kekerasan belakangan ini adalah orang Papua.

"Pemberitaan media massa dan jurnalis sangat diskriminatif. Ini masalah buat kita orang Papua, karena pemberitaan seperti ini menyuburkan stigma separatis dan membuat masyarakat berpikir bahwa pelaku teror dan kekerasan belakangan ini adalah orang Papua. Padahal polisi tidak mampu membuktikan itu." kata Septer Manufandu kepada wartawan di Jakarta, Selasa, 26 Juni.

Menurut Benny Giay, situasi seperti ini menunjukkan bahwa pengelola media atau jurnalis dalam konteks ini telah bertindak diskriminatif. Walau demikian, ia juga memahami jika terkadang situasi ini bisa terjadi karena penguasa regim itu punya saham dalam media dimana jurnalis itu bekerja.

"Noam Chomsky punya pandangan tentang budaya ini dimana pemodal atau penguasa mengendalikan pikiran publik ini dengan pesan sepihak yang diskriminatif terhadap kelompok yang dikorbankan. Apa yang dilakukan wartawan di Papua pernah dilakukan wartawan di Afrika selama era apartheid di tahun 1950an atau di Indonesia pada abad 19. Tidak ada yang baru di papua." ujar Benny Giay menegaskan pandangannya ini.

Kebebasan pers di Afrika Selatan memang memiliki sejarah yang terkotak-kotak. Beberapa sektor dari media Afrika Selatan bisa secara terbuka mengkritik sistem apartheid dan pemerintah Partai Nasional tapi mereka terhambat oleh berbagai sensor pemerintah selama bertahun-tahun. Selain itu, tidak banyak wartawan di masa apartheid, yang bisa menarik batas yang jelas antara kebenaran dan kepentingan penguasa. Juga kepentingan tertentu dari perusahaan media tempat mereka bekerja. Pada masa apartheid ini, kontrol terhadap wartawan dan media massa sangat kuat. Pemberitaan media massa didominasi oleh suara dan informasi dari rezim apartheid.

Salah satu contohnya adalah kematian Steve Biko, seorang pemimpin mahasiswa Afrika S elatan yang mendirikan Black Consciousness Movement. Pada 18 Agustus 1977, Biko ditangkap oleh polisi Afrika. Biko ditangkap dengan tuduhan melanggar UU Afrika Selatan, No. 38, 1967 tentang Terorisme. Ia diinterogasi oleh petugas polisi dari Port Elizabeth,diantaranya Harold Snyman dan Gideon Nieuwoudt.

Interogasi itu berlangsung dua puluh dua jam, termasuk penyiksaan dan pemukulan yang mengakibatkan Biko koma. Dia menderita cedera serius di kepalanya saat berada dalam tahanan polisi dan dirantai ke kisi-kisi jendela selama sehari. Media massa Afrika Selatan tidak memberitakan penyiksaan ini -selain memberitakan Biko ditangkap karena melanggar UU Teroris-hingga seorang wartawan dan sekarang pemimpin politik, Helen Zille, bersama dengan Donald Woods, yang juga seorang wartawan dan editor, mengungkap kebenaran di balik kematian Biko.

Steve Biko meninggal tak lama setelah tiba di penjara Pretoria, pada 12 September 1977. Polisi mengklaim kematiannya adalah akibat dari mogok makan yang dia lakukan. Namun otopsi mengungkapkan beberapa memar dan lecet yang akhirnya membuat Biko menyerah pada pendarahan otak dari luka besar di  kepalanya. Hasil otopsi ini kemudian dijadikan sebagai bukti kuat bahwa Biko telah dipukuli
secara brutal oleh para penculiknya. (Sumber: Jubi/Victor Mambor)
Share this article :

0 Komentar Anda:

Post a Comment

Your Comment Here

Twitt VBPapua

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. SBP-News @VBaptistPapua - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger